Oleh: Nuim Khaiyath
Ketika Presiden Soekarno (Bung Karno) meyebut peristiwa penculikan dan pembunuhan 6 jenderal TNI, dan seorang letnan, sebagai “Gerakan Satu Oktober” alias GESTOK, ada pihak atau kalangan yang kemudian menafsirkan itu sebagai “pengukuhan” atas anggapan atau sangkaan atau kecurigaan mereka bahwa peristiwa terssebut “memang adalah ulah dari si Bung.”
Ada atau tidak ada bukti, bukan menjadi pertimbangan.
Padahal secara resmi peristiwa tersebut sudah dinamai G-30-S alias Gestapu, singkatan dari Gerakan 30 September (1965).
Bidan dari “Gestapu” adalah Brigjen. RH Sugandhi, Kepala Penerangan Staf Angkatan Bersenjata RI.
Dan istilah atau nama GESTAPU memang mirip-mirip GESTAPO – nama organisasi polisi rahasia Nazi Jerman, yang dalam Perang Dunia II dikenal sangat ganas dan ikut bertanggungjawab atas pembantaian sekitar 6 juta orang Yahudi dan jutaan lainnya warga Eropah non-Yahudi.
Apa pun orang kita memang lihai dalam menyusun singkatan.
Siapa yang bisa melupakan singkatan yang pernah diperkenalkan oleh Panglima Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Laksamana Sudomo dalam tahun 1970-an – SUSUTANTE!
Bagi yang sudah lupa, SUSUTANTE adalah “Sumbangan Sukarela Tanta Tekanan!”
Dalam hal GESTAPU/GESTOK, yang masih jadi pertengkaran adalah apakah Bung Karno merupakan bidan atau penggagas/dalang peristiwa yang sangat mengerikan itu?
Dr. Antonie C.A. Dake, seorang penulis dan pengusaha Belanda dalam bukunya “Sukarno File, Kronologis Suatu Keruntuhan”, bersikukuh bahwa dalang G-30-S/GESTOK adalah Bung Karno.
Sementara salah seorang pakar Asia Tenggara dari Australia Dr.Jess Melvin berkeyakinan bahwa dalang Gestapu adalah Suharto.
Perempuan bernama Jess Melvin ini mengatakan, “Kini sudah mungkin untuk menjelaskan bagaimana Soeharto memanfaatkan keadaan untuk menempatkan TNI ke singgasana kekuasaan.”
Kesimpulan ini dituangkan oleh Dr. Jess Melvin dalam bukunya berjudul “ The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder,.”
Namun yang menarik adalah apa yang diungkapkan wartawan Amerika John Hughes yang menuturkan:
“Para saksi yang melihat dari jauh pada hari na’as itu (1 Oktober 1965) mengisahkan bagaimana Bung Karno (di Halim Perdana Kusuma) menepuk-nepuk bahu salah seorang pentolan penculikan para jenderal itu, Brigjen Supardjo. Tetapi apakah itu, sebagaimana suka dikemukakan para pengecam Bung Karno sebagai bentuk ucapan selamat atas prestasi yang telah dicapai (penculikan dan pembunuhan para jenderal)? Ataukah itu , sebagaimana dikemukakan para pembela Bung Karno adalah bentuk peringatan kepada sang Brigjen agar jangan sampai terjadi lagi pertumpahan darah lebih lanjut?”
Brigjen Supardjo sendiri dalam kesaksian di depan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) menuturkan bahwa setelah ia melaporkan kepada Bung Karno tentang apa yang terjadi di pagi buta hari itu (1 Oktober 1965) , Presiden “menepuk-nepuk bahu saya. Dan mengemukakan: “Hal-hal seperti itu memang bisa terjadi dalam suatu revolusi”, dan memrintahkan kepadanya agar tidak boleh terjadi lagi kekerasan.”
Sementara Panglima AURI waktu itu, Omar Dhani mengatakan, setelah Presiden mendengarkan laporan Brigjen Supardjo itu beliau mengatakan: “Ini adalah suatu kejadian dalam revolusi, terutama dalam suatu revolusi yang begitu besar, yang akibat turun-naiknya terkadang menumpahkan darah. Namun suatu revolusi sama sekali tidak boleh terhenti, dan kini tidak boleh terjadi lagi pertumpahan darah.”
Menanggapi “pembicaraan di atas antara Presiden Soekarno dan Brigjen Supardjo” itu, John Hughes menilai bahwa tanggapan Presiden Soekarno tentang penculikan dan pembantaian para jenderal itu terbilang lunak. Dan sekaligus mengesankan bahwa Presiden Soekarno sudah dilapori tentang penculikan dan pembunuhan para jenderal itu (tidak disebutkan oleh siapa dan/atau dari sumber mana?).
Apa pun, Presiden Soekarno tidak memerintahkan agar dilakukan pencarian untuk menemukan para jenderal tersebut. Beliau juga tidak mengambil tindakan disipliner terhadap Brigjen Supardjo. Namun beliau sempat menanyakan kepada Brigjen Supardjo, kata Omar Dhani, apakah dia (Soepardjo) punya bukti-bukti dokumenter bahwa suatu “Dewan Jenderal” memang ada dan memupuk niat untuk melancarkan subversive?
Konon Brigjen Supardjo mengaku memiliki bukti dokumenter itu namun tidak pernah menunjukkannya, meski sempat menjanjikannya. Wallahu a’lam.
sumber gambar: fahum.umsu