Penjajahan Belanda di Indonesia bukan hanya dilakukan dengan kekuatan militer, tetapi juga melalui strategi komunikasi yang penuh tipu muslihat. Salah satu contoh paling terkenal dari komunikasi manipulatif ini adalah kasus Pangeran Diponegoro, yang akhirnya ditangkap melalui taktik licik Belanda. Namun, selain Diponegoro, banyak pahlawan Indonesia lainnya yang juga menjadi korban strategi komunikasi yang menipu ini.
1. Kasus Pangeran Diponegoro: Tipu Muslihat dalam Perundingan
Pangeran Diponegoro adalah tokoh utama dalam Perang Jawa (1825-1830), sebuah perlawanan besar terhadap kolonialisme Belanda. Setelah bertahun-tahun bertempur dengan gigih, Belanda menawarkan perundingan damai pada tahun 1830. Dengan niat baik, Diponegoro menghadiri perundingan di Magelang. Namun, bukannya mencapai kesepakatan yang adil, Belanda justru menggunakan kesempatan ini untuk menangkapnya. Diponegoro kemudian diasingkan ke Makassar hingga wafatnya.
Taktik yang digunakan Belanda dalam kasus ini adalah komunikasi manipulatif dengan memberikan harapan palsu dan menggunakan dalih diplomasi untuk mencapai tujuan mereka tanpa harus berperang lebih lama.
2. Sultan Hasanuddin: Dihancurkan melalui Perjanjian yang Merugikan
Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa adalah pemimpin yang gigih melawan penjajahan VOC di abad ke-17. VOC menggunakan strategi komunikasi yang licik dengan menawarkan perjanjian damai yang tampak menguntungkan, tetapi sebenarnya hanya bertujuan melemahkan kekuasaan Gowa. Setelah menandatangani Perjanjian Bongaya tahun 1667, kerajaan Gowa kehilangan banyak wilayah dan kekuatan militernya, yang akhirnya menyebabkan keruntuhan perlawanan mereka terhadap VOC.
3. Perlawanan Imam Bonjol: Janji Damai yang Berujung Penangkapan
Perang Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol juga diakhiri dengan tipu daya Belanda. Imam Bonjol awalnya diajak untuk berdamai melalui komunikasi yang tampaknya tulus. Namun, saat ia menerima tawaran tersebut dan hadir dalam perundingan, Belanda justru menangkapnya dan mengasingkannya ke Cianjur, lalu ke Ambon, hingga akhirnya wafat di Manado.
4. Strategi Komunikasi Manipulatif yang Digunakan Belanda
Dari berbagai peristiwa di atas, kita dapat melihat pola komunikasi manipulatif yang digunakan oleh penjajah Belanda:
- Janji Palsu: Menawarkan perundingan atau perjanjian damai untuk menarik lawan keluar dari basis pertahanan mereka.
- Penggunaan Diplomasi sebagai Senjata: Menggunakan negosiasi sebagai alat untuk menekan, melemahkan, atau bahkan menangkap lawan.
- Eksploitasi Kepercayaan: Menciptakan kesan bahwa Belanda dapat dipercaya, padahal mereka memiliki agenda tersembunyi.
- Perjanjian yang Tidak Adil: Mengikat pihak pribumi dalam perjanjian yang secara sepihak menguntungkan Belanda.
5. Pelajaran dari Sejarah: Pentingnya Kewaspadaan dalam Diplomasi
Kejadian-kejadian ini mengajarkan bahwa dalam komunikasi dan diplomasi, kepercayaan harus selalu diiringi dengan kewaspadaan. Bangsa Indonesia belajar dari sejarah bahwa diplomasi yang tidak berlandaskan keadilan dan keseimbangan kekuatan hanya akan menjadi alat penindasan.

Sejarah komunikasi manipulatif Belanda terhadap para pahlawan Indonesia adalah bukti nyata bahwa perang tidak hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga dalam strategi komunikasi dan diplomasi. Oleh karena itu, memahami sejarah ini bukan hanya untuk mengenang perjuangan para pahlawan, tetapi juga untuk membangun sikap kritis dalam menghadapi negosiasi dan diplomasi di era modern.
Referensi
- Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford University Press.
- Carey, P. (2012). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. KITLV Press.
- Reid, A. (1988). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680. Yale University Press.
- De Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. (1974). Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon. Brill.
Referensi gambar:
- Jawapos
- Medcom.id