Syahdan, kalau tidak salah dalam bulan Oktober tahun 1961, Presiuden Sukarno beserta rombongan melakukan kunjungan ke Amerika Serikat untuk menjadi tamu Presiden Dwight Eisenhower.
Bung Karno, begitu sering waktu itu diberitakan, punya filosofinya sendiri tentang hubungan internasional.
Beliau suka mengingatkan bahwa “hubungan internasional pada hakikatnya adalah hubungan antara sesama manusia”.
Ternyata “hubungan sesama manusia” ini pernah dilanggar oleh tuan rumahnya Eisenhower, ketika Bung Karno beserta rombongannya tiba di Gedung Putih, tempat kediaman resmi kepresidenan Amerika Serikat.
Bung Karno, begitu dikatakan, suka mengungkapkan kejengkelannya terhadap Eisenhower yang pernah dianggap telah melecehkan, minimal tidak menghormati tamunya, seorang Kepala Negara, dalam hal ini Bung Karno.
Kalau mengungkapkan tentang apa yang dianggapnya sebagai suatu ketidak sopanan itu kepda orang lain, Bung Karno suka membisikkan “tapi jangan cerita pada siapa-siapa, ya”.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Ternyata setibanya di Gedung Putih, Presiden Eisenhower, sebagai tuan rumah, tidak menyambut rombongan Bung Karno di depan pintu Gedung Putih.
Bung Karno oleh pihak protokol Gedung Putih dipersilahkan menunggu di ruang depan gedung tersebut sampai selama 10 menit.
Selidik punya selidik, akhirnya terungkap sebab musabab perlakuan kurang senonoh itu terhadap seorang tokoh bangsa yang dikenal sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Rupanya dalam rombongan Bung Karno itu ada seorang Ahmad (Dipa Nusantara) Aidit, tokoh komunis Indonesia (orang yang pada usia masih terbilang muda – 31 tahun – telah dipercaya memimpin Partai Komunis Indonesia – partai komunis ketiga terbesar di dunia di zamannya setelah Uni Sovyet dan RRT alias Republik Rakyat Tiongkok..
DN Aidit memang hebat. Kemampuannya membina PKI tidak diragukan lagi. Dan oleh banyak orang di luar negeri, Aidit juga dianggap “mengesankan” karena ketika ayahnya, seorang petugas kehutanan, tidak lagi mampu mengirim uang untuk membiayai sekolah dan peri kehidupan sehari-hari Aidit di Jakarta, sang anak yang kemudian memilih nama baru Dipa Nusantara, tidak segan-segan menyingsing lengan baju, dan bekerja sebagai pembantu pada seorang tukang jahit di Jakarta.
Lalu kenapa Eisenhower begitu sengit terhadap kehadiran seorang Aidit dalam rombongan tamunya dari Indonesia itu?
Mungkin Eisenhower masih ingat akan seorang Senator Amerika, Joseph MacCarthy yang antara tahun 1950 dan 1954 melancarkan “pembersihan” terhadap sesiapa saja di Amerika yang dicurigai atau disangka bersifat kiri (sosialis/komunis), atau punya sangkut-paut dengan orang komunis. Banyak orang yang waktu itu teraniaya dan masuk dalam “daftar hitam” karena dianggap “berbau komunis” di Amerika, hingga peri kehidupan mereka sangat dirugikan.
Apakah mungkin karena masih terlintas di pikiran Eisenhower tentang apa yang dikenal sebagai “McCarthy-isme itu, sang ahli berpolitik yang mampu menjahit itu, yakni DN Aidit, diganjar hingga berakibat Bung Karno harus sepuluh menit menunggu? Allahu a’lamu.