Meski umumnya bulan Nopember tidak dianggap “sekeramat” bulan Agutuss dalam anggapan bangsa Indonesia, namun kenyataan sejarah tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang selama ini kita peringati dan rayakan sebagai “Hari Pahlawan” (10 Nopember) telah memainkan peranan penting dalam perjuangan untuk melepaskan belenggu penjajahan oleh Belanda yang telah berlangsung begitu lama – 350 tahun – dengan intermezzo yang hanya sebentar – pendudukan oleh Jepang.
Memang munculnya pahlawan tidak selamanya berarti bagus.
Dalam karya menariknya “Life of Galileo” pengarang Jerman Bertold Brechte menjalin percakapan seperti berikut:
Andrea: “Unhappy is the land that breeds no hero”.
Galileo: “No Andrea. Unhappy is the land that needs a hero”.
Maknanya jelas dan dalam sekali.Galileo mendambakan sebuah negara “gemah ripah loh jinawi” yang aman dan tenteram, bebas dari gangguan yang harus dihadapi dengan kekerasan. Hingga tidak diperlukan pahlawan.
Namun perjalanan sejarah, khusus untuk Indonesia, memang berbeda. Tanpa diundang Belanda masuk dan bercokol, menindas,menjarah dan menghisap.
Dan ketika bangsa Indonesia sudah muak dengan penjajahan Belanda, negeri kicir angin itu malahan berang dan bukan saja mencoba untuk meredamnya melainkan mencoba membusuk-busukkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai suatu perbuatan durhaka.
Awalnya Belanda meyakinkan sebagian bangsa Eropah bahwa kehendak untuk merdeka rakyat Indonesia adalah perbuatan durhaka – kalau sekarang mungkin akan disebut terorisme.
Mirip seperti sekarang ini, sebenarnya. Suatu masyarakat yang nota bene memang dijajah, ketika menuntut kemerdekaannya, oleh yang menjajahnya langsung dituding “teroris” – dan pasca dikumandangkannya “perang melawan terorisme” oleh Presiden Amerika Geoge W. Bush menyusul peristiwa yang dikenal sebagai “9/11”, maka semua bentuk “terorisme” akan ditentang oleh Amerika dan sekutu-sekutunya. Banyak contohnya, salah satu di antaranya adalah keadaan masyarakat Uighur (Tiongkok menyebutnya Xinjiang). Mereka Muslim dan keturunan Asia Tengah, bukan dari suku Han. Tiongkok menyebut perjuangan kemerdekaan mereka sebagai suatu bentuk terorisme.
Dalam peristiwa 10 Nopember 1945 Belanda dengan lihainya berhasil melibatkan Inggeris yang mengerahkan bala tentaranya yang umumnya terdiri dari prajurit-prajurit India, meski para perwiranya adalah dari Inggeris. Waktu itu India memang “kepunyaan” Inggeris.
Di luar dugaan, seorang Brigadir Jenderal Inggeris, Mallaby, tewas dalam bentrokan dengan laskar rakyat. Dan peristiwa 10 Nopember 1945 itu juga memicu dicetuskannya fatwa “Jihad” oleh dua organisasi Muslim terbesar, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, terhadap Belanda. Singkat cerita banyak korban yang jatuh di Surabaya – angka 15-ribu umumnya diakui sebagai jumlah warga Indonesia yang tewas. Karena kekuatan senjata dan pengalamannya pihak sekutu menderita lebih sedikit korban jiwa dibanding pihak Republik.
Kini seorang mahasiswa S-3 di Universitas Nasional Australia – ANU, Rosalind Hewett – menyusun sebuah risalah yang berisi sinyaliran bahwa dalam peristiwa 10 Nopember 1945 itu sempat terjadi pembantaian oleh pihak Republik (pejuang revolusioner Indonesia/laskar rakyat) terhadap anggota-anggota masyarakat tertentu di Surabaya. Jelas, tudingan atau sinyaliran ini perlu segera ditanggapi oleh para sejarawan Indonesia, agar nama NKRI jangan sampai tercemar.
Menariknya adalah seakan pembantaian-pembantaian yang pernah dilakukan Belanda terhadap rakyat Indonesia kurang mendapat perhatian. Mungkin dalam pembantaian-pembantaian tersebut di pihak Belanda terdapat serdadu-serdadu yang pada halnya berkebangsaan Indonesia, tetapi lebih memilih untuk berpihak kepada dan bergabung dengan Belanda daripada Republik (Indonesia).
Televisi badan siaran Inggeris, BBC, pernah membuat acara mengenai pembantaian hampir 14 ribu dari ke-15 ribu penduduk Banda oleh pemimpin Belanda Jan Pieterzoon Coen yang dituding mendatangkan algojo-algojo dari Jepang untuk melaksanakan maksud kejinya itu.
Kita tahu tentang kebuasan Raymond “Turko” Westerling, dan kini beberapa sejarawan, termasuk dari Swis, kembali menggali tentang kekejaman dan kebuasaan bala tentara Belanda di Rengat, Sumatera Tengah, dalam bulan Januari 1949.
Anehnya, ketika di Indonesia sendiri kini sering diangkat persoalan “tragedi nasional” 1965 (G-30-S) tidak ada yang tertarik untuk membicarakan kebuasan Belanda terhadap rakyat Rengat. Ada apa dengan sikap bangsa kita dalam hal-hal seperti ini?
Pada hal menurut penuturan sejumlah warga Rengat yang belum lama berselang diwawancarai oleh seorang sejarawan dari Belanda, dalam peristiwa pembantaian tersebut, di sungai kampung mereka mengapung begitu banyak mayat warga Indonesia yang dibantai Belanda dan antek-anteknya, hingga beberapa bulan setelah itu penduduk di pinggir sungai tidak bersedia memakan ikan yang sebelumnya menjadi salah satu sumber santapan mereka, karena merasa ikan-ikan tersebut telah memakan daging para korban yang di antaranya adalah sanak saudara atau sahabat atau tetangga mereka sendiri.
Belanda yang pada hakikatnya tidak sudi diduduki Jerman Nazi dalam Perang Dunia II seolah, atau barangkali pura-pura saja, tidak paham kenapa bangsa Indonesia tidak sudi untuk terus dijajah.
Ini mengingatkan kita akan kisah seorang pimpinan pejuang Wales (Inggeris) yang ketika digelandang oleh penguasa Romawi ke Roma, mengatakan kepada Kaisar: “Hanya karena anda ingin menguasai dunia tidak berarti dunia juga ingin dikuasai oleh anda.”
Anehnya adalah bahwa sampai sekarang pun kasus-kasus kebuasan Belanda ketika menjajah Indonesia kurang mendapat perhatian oleh pemerintah maupun rakyat Belanda sendiri. Malahan tanpa malu-malu belum lama berselang di Belanda diselenggarakan “Pengadilan Rakyat” yang menurunkan putusan yang memojokkan Indonesia dalam peristiwa G-30-S. Sungguh ini adalah perbuatan tidak tahu malu – telunjuk lurus kelingking berkait. Dasar watak penjajah, barangkali. Wallahu a’lam.#
Sewaktu Orde Baru sudah mulai pupus kegunaannya bagi Barat (khusus sesudah bubarnya Uni Sovyet) sering dilancarkan kecaman pedas terhadap riwayat hak asasi manusia rezim Suharto. Pada waktu itu pun tidak terdengar di Indonesia a’lam. adanya keberangan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang sangat keji oleh Belanda cs. Ada apa dengan sikap Indonesia yang terkesan hanya “nrimo”? Wallahu
Akan halnya peristiwa 10 Nopember 1945 jelas ini tidak lepas dari peranan Bung Tomo yang baru dalam tahun 2008 dinyatakan sebagai pahlawan nasional, yang jenazahnya dikuburkan bukan di Taman Makam Pahlawan di Surabaya melainkan di Taman Pemakaman Umum. Tidak jadi soal, karena pada kalbu banyak warga Indonesia yang tahu menghargai jasa-jasa para pahlawannya, Bung Tomo adalah pahlawan.
Dialah yang membakar semangat para pejuang anti penjajahan dengan pidato-pidatonya yang disiarkan lewat radio. Di antara yang mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo adalah ungkapan berikut:
“Darah pasti banyak mengalir. Jiwa pasti banyak melayang. Tetapi pengorbanan kita ini tidak akan sia-sia, Saudara-saudara. Anak-anak dan cucu-cucu kita di kemudian hari, insya Allah, pasti akan menikmati segala apa hasil daripada perjuangan kita ini,” tuturnya pada 10 Nopember.
Payah masuk akal bahwa seorang sekaliber Bung Tomo pun tidak menjadi halangan bagi seorang Jenderal Suharto yang sempat menjebloskannya ke dalam tahanan karena membela nasib “Wong Cilik” dan “Bangsa Dewe”.
Dalam karya besarnya “On Heroes, Hero Worship and The Heroic in History” pemikir Inggeris Thomas Carlyle mengatakan:
“Sifat-sifat dasar seorang pahlawan itu begitu murni dan tulus hingga tidak mungkin ia korup.” Kecuali barangkali, di mata rezim Orde Baru. Wallahu a’lam.#