Malam itu, tanggal 16 Agustus 1945, Jakarta diliputi keheningan yang mencekam. Tapi di balik sunyi malam, ketegangan justru membara di sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 — rumah kediaman Bung Karno.
Sehari sebelumnya, situasi berubah drastis. Kekalahan Jepang di Perang Dunia II diumumkan oleh Kaisar Hirohito. Kabar itu menyebar cepat ke telinga para pejuang kemerdekaan Indonesia. Kegembiraan meletup, namun juga diselimuti tanda tanya besar: “Kapan kemerdekaan Indonesia akan diproklamasikan?”
Di sisi lain, kelompok pemuda — yang dikenal sebagai Golongan Muda — seperti Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana — mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang. Mereka takut peluang emas ini akan berlalu jika terlalu lama menunggu.
Sampai-sampai, dini hari 16 Agustus, kedua tokoh utama bangsa itu diculik ke Rengasdengklok oleh para pemuda, demi menjauhkan mereka dari tekanan Jepang. Di Rengasdengklok, di tengah sawah dan gelapnya malam, terjadi perdebatan serius. Para pemuda berkata lantang:
“Ini kesempatan terakhir, Bung! Kalau tidak sekarang, bangsa kita bisa kembali dijajah!”
Akhirnya, dengan kepala dingin namun penuh semangat, Bung Karno dan Bung Hatta meyakinkan bahwa proklamasi tetap akan dilakukan esok harinya di Jakarta, setelah berkonsultasi dengan golongan tua.
Malamnya, di Jakarta, Soekarno, Hatta, Ahmad Subardjo, dan beberapa tokoh lain berkumpul. Mereka menyusun teks proklamasi dengan hati-hati, menggunakan mesin tik tua milik Sayuti Melik. Setiap kata dipilih dengan penuh pertimbangan. Di luar rumah, para pemuda berjaga, waspada terhadap kemungkinan gangguan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Ketegangan terasa sangat nyata. Di satu sisi, penjajah Jepang belum sepenuhnya angkat kaki. Di sisi lain, semangat rakyat membuncah tak terbendung.
Pagi harinya, 17 Agustus 1945, matahari baru saja naik. Di halaman rumah Pegangsaan Timur 56, hanya dengan tiang bendera seadanya, bendera Merah Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati berkibar untuk pertama kalinya. Dengan suara lantang, Bung Karno membacakan:
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…”
Hening. Seluruh hadirin menahan napas, sebagian meneteskan air mata. Itu bukan sekadar pengumuman. Itu adalah janji suci sebuah bangsa: Indonesia Merdeka!