
Di era modern, strategi divide et impera masih digunakan oleh negara-negara besar untuk mengamankan kepentingan geopolitik dan ekonominya. Perbedaannya terletak pada media dan alat yang digunakan. Dulu memakai surat kabar dan elite lokal, kini menggunakan media sosial, disinformasi, tekanan ekonomi, hingga perang proxy (proxy war).
Beberapa bentuk modern divide et impera antara lain:
1. Polarisasi Politik Lewat Disinformasi
Media sosial menjadi medan pertempuran baru. Melalui akun bot, troll, atau kampanye informasi palsu, pihak tertentu dapat menciptakan konflik horizontal — antar agama, ras, suku, atau kelompok politik — agar masyarakat saling membenci, bukannya bersatu melawan sumber masalah sebenarnya.
2. Isu SARA sebagai Senjata Politik
Isu-isu identitas seperti agama dan etnis kerap dimanfaatkan oleh aktor politik — baik dalam negeri maupun luar negeri — untuk memecah suara rakyat. Strategi ini membuat kelompok masyarakat lebih sibuk bertengkar antar sesama daripada memikirkan solusi jangka panjang bagi negara.
3. Penggiringan Opini Melalui Media Arus Utama
Selain media sosial, media arus utama pun kadang digunakan sebagai alat untuk mengaburkan kebenaran dan menggiring opini, sesuai kepentingan pemodal atau pihak asing. Publik yang tidak kritis menjadi sasaran empuk manipulasi informasi.
Kaitannya dengan Proxy War: Pecah Belah ala Zaman Baru
Proxy war atau perang perwakilan adalah konflik antara dua kekuatan besar yang tidak berperang secara langsung, tetapi menggunakan pihak ketiga sebagai perwakilan — biasanya negara yang lebih kecil atau kelompok bersenjata lokal.
Dalam konteks ini, strategi divide et impera menjadi krusial:
Negara adidaya mendukung satu kelompok, baik secara finansial, ideologis, atau militer.
Kelompok lain didukung oleh kekuatan rival.
Akibatnya, negara sasaran terjebak dalam konflik internal berkepanjangan, dan tidak mampu bangkit atau mandiri.
Contoh nyata:
Konflik di Suriah, Yaman, bahkan Ukraina, semua melibatkan perang proksi dan manipulasi komunikasi, dengan rakyat sipil sebagai korban utama. Di beberapa negara Asia Tenggara pun, infiltrasi informasi dan adu domba antarkelompok dilakukan lewat media dan organisasi bayangan.
Mengapa Kita Harus Waspada?
Indonesia sebagai negara dengan keragaman suku, agama, dan budaya, sangat rentan terhadap strategi divide et impera modern. Perpecahan bangsa bisa menjadi “pintu masuk” untuk intervensi asing, baik dalam bentuk ekonomi, politik, bahkan pertahanan.
Kita harus sadar bahwa:
Musuh masa kini tidak selalu membawa senjata, kadang cukup dengan hoaks dan narasi yang diatur.
Pertahanan bangsa bukan hanya soal militer, tapi juga ketahanan informasi dan persatuan sosial.
Literasi digital dan kebijakan media yang kuat menjadi senjata utama dalam melawan strategi pecah belah gaya baru.
Penutup: Dari Sejarah untuk Masa Depan
Divide et impera bukan sekadar kisah lama di buku sejarah. Ini adalah peringatan abadi bahwa kekuatan manipulatif sering kali datang dalam bentuk komunikasi, bukan peluru. Dari masa penjajahan hingga era digital dan proxy war, strategi ini tetap relevan, hanya dengan kemasan yang berbeda.
Memahami sejarah kolonial dan mempelajari pola pecah belah hari ini bukan hanya tugas sejarawan, tetapi tanggung jawab semua warga negara yang ingin melihat bangsanya tetap utuh, kuat, dan merdeka sepenuhnya.